:: Tidak ada kemenangan kecuali dengan kekuatan. Tidak ada kekuatan kecuali dengan persatuan. Tidak ada persatuan kecuali dengan keutamaan. Tidak ada keutamaan kecuali dengan Islam. Islam tidak bisa hidup kecuali dengan dakwah. Dakwah tak akan bisa berjalan kecuali dengan jihad. Dan jihad tidak akan bisa berjalan kecuali dengan landasan keimanan.(Umar Bin Khattab) :: http://mentoringfkipums.blogspot.com/

Kamis, 14 Oktober 2010

Renungan Kisah


WUDHU LAHIR DAN WUDHU BATIN

Pada suatu hari, Isham bin Yusuf berkunjung ke majelis pengajian Hatim Al-Hisyam. Kunjungan itu dimaksudkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan.
Katanya, ”Hai Abu Abdurrahman, bagaimana cara anda shalat?”
Hatim Al-Hisyam menoleh kepadanya, lalu menjawab, ”bila waktu Shalat tiba, maka saya mulai berwudhu dengan wudhu lahir dan wudhu batin.”
Isham bin Yusuf bertanya, ” apa yang tuan maksud dengan wudhu batin itu?”
Ia menjawab,”Jika pada wudhu lahir, saya mencuci anggota tubuh saya dengan air, maka pada wudhu batin, saya mencuci dengan tujuh macam jalan, yakni dengan bertaubat, menyesal, menghapus cinta dunia, memalingkan diri dari pujian makhluk, membuang rasa benci dan iri. Kemudian saya pergi ke masjid.”
”ketika saya mengangkat kedua belah tangan untuk untuk Takbiratul Ihram,” lanjutnya, ”maka tampaklah ka’bah di hadapan saya. Saya berdiri dengan perasaan harap dan takut. Allah SWT memandangku, surga di kananku, neraka di kiriku dan malaikat maut di nelakangku. Dan seakan-akan saya sedang meletakkan kaki di sirathal mustaqim, saya berpikir bahwa itulah shalat terakhir bagiku. Lalu saya takbir dengan sebaik-baiknya, membaca ayat dengan tartil dan tafakkur, ruku dengan tawadhu, sujud dengan tadharru’, bertasyahud dengan penuh harap dan saya akhiri dengan salam yang tulus ikhlas. Inilah shalat saya selama tiga puluh tahun.”

Mendengar uraian tersebut, maka berkatalah Isham bin Yusuf, ” tidak ada yang sanggup melaksanakan shalat seperti itu selain tuan!” setelah berkata demikian, menangislah ia terisak-isak.

Sumber : Musbikin Imam, 2004, Abu Nawas dan Tongkat Wasiat, Mitra Pustaka, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.